Albert Camus |
segera menghidupkan kembali nilai-nilai kebebasan dalam diri kita, maupun dalam diri orang lain, serta dengan menolak dan tidak akan mengorbankan kebebasan itu betapapun sementaranya-atau memisahkan kebebasan dari kebutuhan kita menegakkan keadilan. Sumbangan yang harus kita berikan adalah: tanpa menyerah dalam memperjuangkan keadilan, bertahan terus memperjuangkan kebebasan. (Krisis Kebebasan, halaman 108)
Kutipan diatas adalah kutipan
sebuah buku berjudul Krisis Kebebasan, buku yang berisi kumpulan karangan
seorang filsuf eksistensialis, Albert Camus, berhasil membuatku penasaran.
Krisis kebebasan seperti apa yang dimaksud oleh Albert Camus?. Sejujurnya,
karena pesona seorang filsuf penulis buku ini lah yang membuatku tertarik
membacanya, membuatku ingin membaca seluruh karya-karya pemikiran Albert Camus
yang muda dan berbahaya. Banyak sekali alasan mengapa Albert Camus menjadi
filsuf eksistensialis favoritku karena eksistensialisme yang kerap didaulat
sebagai filsafat kaum borjuis akibat muatan individualisme radikal berkebalikan
dengan Camus dan kritik-kritiknya pada borjuasi.
Awalnya kukira akan terasa berat
dan membingungkan untuk mencerna sebuah tulisan seorang filsuf seperti yang
kutemukan pada Karya-karya Nietzche, Sartre, atau filsuf eksistensialis lainnya
(mungkin karena terjemahan) Tapi, Albert Camus keren, meskipun bahasa yang masih
khas buku terjemahan tapi aku tetap bisa menangkap segala pikiran yang coba ia
tuangkan dalam tulisannya.
Buku Krisis Kebebasan adalah
kumpulan karangan bertemakan kebebasan yang terus ia coba suarakan, dan
menuntut untuk terus diperjuangkan. Kebebasan yang tidak bisa terlepas dari
keadilan ini menurutnya harus dinomorsatukan dan kita harus yakin
seyakin-yakinnya bahwa kebebasan bukanlah hadiah yang diberikan suatu negara
atau seorang pemimpi, melainkan hak yang diperjuangkan setiap hari. Kebebasan bagi Camus, merupakan kebaikan tertinggi yang akan mengendalikan kebaikan lain; baik bagi masyarakat maupun individu.
Bab permulaan pada buku ini
berisi surat-surat karangannya kepada Jerman yang saat itu dikuasai oleh Nazi,
yang menurutnya adalah seorang tiran penuh kepalsuan yang haus darah,
mengutamakan kekerasan daripada berpikir, acap kali ia juga membandingkannya dengan
negara atau orang-orangnya yang lebih berakal budi.
Dan di negerimu kata "tanah air" memiliki warna yang tidak menentu dan berlumur darah, membuatku senantiasa merasa asing, sebab di negeriku kata yang sama mengobarkan akal budi. (Krisis Kebebasan, halaman 17)
Lewat karangan lainnya, ia menegaskan
akan pentingnya mempejuangkan kebebasan-kebebasan pers, seniman, dan
cendikiawan. Kebebasan itu harus diperjuangkan sendiri oleh para pers, seniman,
dan cendikiawan dengan cara memberontak walaupun itu harus dilakukan sendirian,
walaupun berbuah pengasingan. Kekuasaan tiran akan mencoba memberangus
kebebasan pada pers, seniman, dan cendikiawan terlebih dahulu untuk selajutnya penindasan kelas pekerja. Pemberangusan
kebebasan itu lah yang menjadi pertanda bahwa sebuah negeri dilanda krisis
kebebasan. Albert camus juga mencoba menegaskan kembali taruhan-taruhan yang
harus dihadapi pada zaman kita ini, serta uraiannya tentang para seniman dan
seni.
Jika seni menyesuaikan diri dengan mayoritas keinginan masyarakat, ia akan menjadi reaksi tanpa arti. Jika seni membabi-buta saja dan menolak keinginan masyarakat, senimannya hanya mengutamakan rnimpi, ia hanya menjadi penentang segala sesuatu. Dengan cara beginilah kita hanya memiliki kumpulan penghibur atau ahli bahasa resmi. Dan keduanya menyingkirkan seni ke suatu tempat yang asing dari kenyataan hidup. (Krisis Kebebasan, halaman 82)
Karena seni, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, tidak dapat mengabdi pada kepentingan apa pun selain penderitaan manusia atau kebebasan. Seniman yang benar-benar mengabdikan diri adalah seniman yang tidak menolak bertempur, tetapi juga tidak akan bergabung dan menjadi tentara resmi, melainkan berjuang menurut kemampuannya (Krisis Kebebasan, halaman 96)
Buku ini juga memuat renungan
mendalam mengenai moral masyarakat kita dalam bab terakhir yang berjudul ‘Merenungkan
Guilotin’ yang berisi pendapatnya tentang hukuman mati yang sering dilakukan
pada zaman itu, ia menolak sejadi-jadinya pemberlakuan hukuman mati, baginya
itu adalah perbuatan yang sia-sia. Pendapatnya itu dikemas dengan sangat
meyakinkan dan ditinjau dari berbagai sisi. Pun baginya hukuman mati tidak akan
menjadi sia-sia jika itu dilakukan dengan pemberitaan yang seluas-luasnya dan
bukan diam-diam dan tertutup didalam penjara.
Pers atau buku tidak lantas menjadi benar karena revolusioner. Ia justru berkesempatan menjadi revolusioner hanya bila berani menyatakan kebenaran. Kita dapat mengatakan bahwa kebenaran dengan K besar adalah nisbi. Tetapi fakta tetap fakta. Dan siapa saja yang menyatakan langit biru padahal sebenarnya setengah kelabu, telah melacurkan katakata dan mempersiapkan diri untuk menjadi tiran. (Krisis Kebebasan, halaman 43)
Buku ini benar-benar menggugah rasa keinginan kita akan sebuah kebebasan, menyadarkan kita untuk menilik kembali apakah kebebasan kita telah direnggut, dan apakah kita telah terbutakan oleh kepalsuan yang dibungkus kebenaran?
Akhir kata, buku ini sangat patut
dibaca oleh seniman, pers, cendikiawan, politisi, pendeknya.. semua orang yang
berhak akan kebebasan.
Krisis Kebebasan | Albert Camus | Yayasan Pustaka Obor Indonesia
0 Komentar