Kemarin aku baru saja selesai membaca  sebuah buku yang ringan dari segi halaman, hanya 170an halaman --- tapi berat dari segi isi, berat bukan karena kata-kata yang sulit dicerna seperti buku filsafat, tapi karena isinya menceritakan sebuah kisah nyata yang ngeri, memilukan, dan menyayat hati. Kisah ironi seorang perempuan yang dihadapkan oleh kenyataan bahwa dunia ini adalah dunia yang patriarki.

Firdaus adalah seorang tokoh nyata yang ditemukan penulis dalam penjara dan mengilhami penulis untuk membuat cerita tentangnya. Firdaus adalah seorang perempuan yang menopang banyak luka dan sakit, berhasil menang dan bangkit untuk menentang dominasi lelaki, walau kemenangan itu sama dengan kematian atas dirinya. Lewat tokoh Firdaus, penulis menguak sebuah alur cerita yang sangat pedas, keras, dan berani yang mengandung jeritan pedih dan protes atas ketidak adilan perempuan yang diciptakan oleh masyarakat yang sangat laki-laki menjadi makhluk kelas kedua yang inferior.

Betapapun juga suksesnya seorang pelacur, dia tidak pernah dapat mengenal semua lelaki. Akan tetapi semua lelaki yang saya kenal, tiap orang di antara mereka telah mengobarkan dalam diri saya hanya satu hasrat saja; untuk mengangkat tangan saya dan menghantamkannya ke muka mereka. (Nawal El Saadawi 2002, h. 149)

Luka bertubi-tubi yang diterima oleh firdaus di dunia membuatnya trauma hingga terkesan mendendam dengan segala lelaki karena takdirnya yang hidup di dunia dimana ia tak dapat menemukan lelaki baik sedikitpun. Firdaus memang cukup radikal jika kita berkaca pada masa kini, tapi kobaran jiwa Firdaus yang lembut dan anggun akan terus hadir dalam jiwa kita untuk terus menuntut kehendak bebas dan melawan segala bentuk ketidakadilan atas nama gender.


Mereka tidak takut kepada pisau saya. Kebenaran saya  itulah yang menakutkan mereka. Kebenaran yang menakutkan ini telah memberikan kepada saya kekuatan yang besar. Ia melindungi saya dari rasa takut mati, atau takut kehidupan, rasa lapar, atau ketelanjangan, atau kehancuran. Adalah kebenaran yang menakutkan ini yang mencegah saya merasa takut kepada kekurangajaran para penguasa dan para petugas kepolisian.(Nawal El Saadawi 2002, h. 171)


Lelaki revolusioner yang berpegang pada prinsip-prinsip sebenarnya tidak banyak berbeda dari lelaki lainnya. Mereka mempergunakan kepintaran mereka, dengan menukarkan  prinsip mereka untuk mendapatkan apa yang dapat dibeli orang lain dengan uang. Revolusi bagi mereka tak ubahnya sebagai seks bagi kami. Sesuatu yang disalahgunakan Sesuatu yang dapat dijual. (Nawal El Saadawi 2002, h. 145) 


*** 
Menghadapi kenyataan bahwa dunia masih diskriminatif terhadap perempuan memang betul-betul membuatku jengah, kodrat-kodrat lelaki-perempuan yang ditetapkan oleh para manusia menurutku adalah ketidakadilan. Adakah kitab suci membenarkan perlakuan kejam dan pembatasan hak-hak pada perempuan yang juga adalah seorang manusia? … Manusia beragama yang baik memang mesti patuh terhadap ajaran agama, tapi apakah yang mesti patuh adalah perempuannya saja? Perempuan dalam firman-Nya memang harus patuh terhadap suami, tapi apakah suami serta-merta tidak lagi memerhatikan bahwa istripun memiliki porsinya sebagai manusia yang memiliki hati dan merasakan sakit.

Perihal gender sebetulnya aku tidak mau ambil pusing, bagiku spektrum gender apapun tidak mesti dipusing-pusingkan jika kita mengerti cara memanusiakan seorang manusia dengan rasa kemanusiaan.

**
Buku Perempuan di Titik Nol sangat layak baca untuk semua orang, apapun gendernya, karena masalah kemanusiaan bukan hanya milik si korban. Kemanusiaan yang tercederai akan turut membuat manusia lain sakit hati, hal ini berlaku bagi mereka yang masih punya empati.

Buku ini mempertanyakan kembali sisi kemanusiaan yang membangun peradaban kita ini, apakah kita sudah merasakan keadilan?

*
Sekian,
Peace & love.



Perempuan di Titik Nol | Nawal El Sadaawi | Yayasan Obor Indonesia | 2002