Pukul 07.00, waktunya Sophie bersiap untuk pergi ke
kampusnya. Sophie adalah seorang gadis jurusan sastra yang sulit ditebak,
sikapnya sangat spontan, ia tidak bersemangat dengan hal-hal masa muda. Pagi
itu, ia naik bus ke kampus dengan perasaan lesu tanpa semangat apa-apa. Duduk
di kursi dekat jendela, matanya kosong menatap jalan raya, mobil, motor, dan
orang-orang lalu lalang. Ia bertanya pada dirinya sendiri, mau kemana, dan mau
melakukan apa setelah dia sampai di kampus nanti. Pikirannya berputar tanpa
arah, tanpa mendapat jawaban dan kesimpulan atau boleh jadi ia tidak memilih
jawaban dari segala pertanyaan itu.
Rasanya sangat lama hingga bus tiba di tujuan, Sophie turun
dan berjalan menuju kelasnya, mengikuti perkuliahan seperti hari-hari biasa lainnya.
Baginya, kuliah hanyalah menjalankan kewajiban karena orang tuanya yang sudah
susah payah membayar. Jika ditanya mimpi, ia akan kebingungan menjawab dan
berakhir diam lalu tertawa. Oleh karena itu, dia hanya menjalankan tugasnya di
kampus, tanpa hal yang macam-macam sambil sesekali menyapa dan mengobrol
bersama teman-temannya di sela-sela pergantian kelas.
Perkuliahan pada waktu itu telah ia lewati, rasanya berat
karena harus mengerjakan pekerjaan tanpa hati, rasanya hambar dan kosong.
Tetapi sepulang kuliah itulah setidaknya Sophie merasa senang karena dunianya yang
asli baru saja dimulai. Dunianya dimulai saat Sophie sendirian, disitulah saat
dimana ia menikmati setiap detik hidupnya. Sophie menulis, melukis, menyanyi,
menanam bunga-bunga hias, sambil kadang-kadang berpuisi. Banyak yang dia pikir
bisa melakukannya sendiri daripada harus bersama orang lain.
“kehidupan ini sungguh indah… sampai pada suatu hari kita
dituntut harus mencari benda bernama uang dan menikah lalu punya anak.”
Gumamnya sambil membuka pakaian dan bergegas mandi
“Katanya kalau mau menikmati hidup harus punya uang dulu.
Punya uang harus kerja dulu. Manusia saja hidup rata-rata sampai 70 tahun, 30
tahunnya untuk tidur, belum waktu makan, mandi, sekolah, kuliah. Ternyata
singkat juga ya… aku tidak mau berakhir
seperti ayah dan ibu yang sibuk mempertuhankan uang, setiap hari bekerja tak
ingat waktu, kapan ibu bisa menikmati alam yang indah, menari, bernyanyi,
menghabiskan waktu dengan kesenangan dan kebahagiaan.” gumamnya kecil sambil keramas.
Sehabis membersihkan diri ia langsung tidur karena hari ini
cukup menguras banyak energi, 4 mata kuliah dalam sehari. Sengaja ia memilih 4
kelas sekaligus dalam sehari agar hari lainnya bisa libur dan tidak harus
datang ke kampus.
Ia langsung terlelap. mimpi-mimpi indah, aneh, dan absurd
selalu menemani tidurnya setiap hari tanpa henti. Tetapi, malam ini berbeda
dari malam-malam biasanya. Sophie berada dalam keramaian di sebuah alun-alun,
hatinya bingung, entah mau kemana dan apa yang ia cari di alun-alun itu.
Tiba-tiba hatinya tergerak untuk bertanya kepada seorang kakek penjual madu.
Saat ia baru hendak bertanya, suasana tiba-tiba berubah menjadi sebuah puncak
gunung dimana ia dan kakek berada di pinggir tebingnya. Namun, kakek tersebut
tak ikut berubah mengikuti suasana, ia masih berpakaian hitam dengan celana
Panjang dan ikat kepala, lengkap dengan madu-madu yang ia bawa. Kejadian itu
persis seperti teleportasi yang ada di film-film superhero. Ia hanya berdua
dengan kakek itu, melihat pemandangan yang indah ia hanyut terbuai tanpa kata.
Baru setelah itu, sang kakek langsung berbicara dengan nada yang melegakan,
kalimatnya keluar seperti syair dengan nada dan intonasi bak seorang dalang.
“Wahai wanita yang liar, wanita muda dengan jiwanya yang tua
dan malang, sugguh dirimu telah menyadari ini sebelumnya. Tapi malang oh
sungguh malang, aku disini untuk kemalanganmu, untuk semua orang yang mencari
jalan dan bertanya, kelak akan kau temukan jawaban. Tetaplah percaya.”
Sophie diam saja mendengar kalimat kakek tua itu, dalam
mimpi semua seakan adalah realitas, keajaiban terjadi dan semua kemungkinan
menjadi mungkin. Ada dua kehendak di dalam sebuah mimpi, kehendak alami yaitu
segala kejadian yang kita pikir benar-benar terjadi dan kehendak kita sendiri untuk
merespon segala hal yang terjadi dalam mimpi itu. Walau seaneh apapun, kita
akan tetap percaya bahwa hal-hal itu adalah nyata sampai kita terbangun.
Kakek itu mengeluarkan madu yang ia jual dan uang yang
lumayan banyak dari kantong bajunya, lalu melemparnya jauh ke bawah jurang. Sophie
kaget namun ia hanya terdiam sekali lagi.
“Inilah yang telah kamu sadari, uang bukan segalanya dan ia
takkan berguna di atas gunung ini. Tapi sadarlah wahai jiwa yang tua dan angkuh,
kau ini tidak hidup di gunung. Sang hyang pada saat ini telah menakdirkanmu
hidup di kota, kalau kau tidak mau berurusan dengan uang dan segala
bayang-bayang dunia maka pergilah ke dalam hutan, goa, atau pulau tak
berpenghuni. Silakan hidup sendiri sampai kau mati. Tidak ada yang dapat menghalangi
semua kemauanmu itu selain Sang Hyang.”
“Harus kau maknai ini wahai manusia, hiduplah pada hari ini,
usahakan apa yang bisa kau lakukan pada saat ini, bekerja bukan berarti mesti
mempertuhankan uang. Tapi kalau sudah menganggap uang adalah segalanya, tidak
peduli baik buruk, mulia atau hina caranya itulah uang yang kau sebut sebagai
Tuhan. Bukan berarti kau mengikuti maunya dunia, kau mengikuti hawa nafsumu
juga. Bersemangatlah dan tetap percaya.” Lalu, kakek itu lenyap menghilang
disekejapan mata.
Suasana seketika berubah, Sophie berada ditengah gurun pasir
sambil berjalan dibawah terik matahari. Ia sangat haus hingga menangis dan
meminum air matanya sendiri, kulitnya terbakar hingga ia membuka bajunya dan
menggunakannya tuk menutupi kepala layaknya sebuah payung. Ia tidak bisa
menahan rasa sesak hingga akhirnnya terbangun dari mimpinya.
Ia bangun dengan perasaan yang sangat haus, suhu badannya sangat
tinggi seperti habis berjemur dibawah matahari. Ia bergegas ke dapur dengan
kepala yang terus-menerus berpikir mengenai mimpi yang baru saja ia alami. Ia
minum air dengan gelas berkali-kali. Sophie merasakan kesyahduan dalam dirinya
setelah meminum air dan mengingat kakek tua itu. ia kembali ke kamarnya dan
menulis mimpinya disebuah buku diatas kasurnya agar ia selalu mengingat pesan
dari kakek mimpi yang ia sebut sebagai guru.
“Walau asal-usul mimpi masih misteri, apapun yang
menghendaki mimpi pada malam ini terjadi.. aktifitas otak, alam bawah sadar,
pesan dari dunia gaib, pertanda nasib, pesan dari semesta, atau bahkan yang
asalnya dari setan pun—yang pasti mimpi ini telah mengubahku.” Ucap Sophie
mengakhiri tulisan dengan goresan senyum kecil di wajahnya.
Keesokan paginya, Sophie pergi ke kampus dengan perasaan yang lega, mengukir senyum indah untuk pak sopir dan para penumpang bus kota. Sophie menyadari bahwa setiap detik di dunia adalah proses dan usaha. Apapun yang terjadi dalam perjalanan ini tidak akan lagi membuatnya gentar pada hidup. Penderitaan, masalah uang, mencari makan, pernikahan, dan singkatnya hidup sudah tidak lagi ia pikirkan sekarang. Hal itu sepenuhnya karunia dari anugerah dari Sang Hyang . Ia berusaha menunaikan dharma dengan sukarela, menjalankan karma hidupnya dengan sukacita, berserah diri pada kehendak semesta, semoga kiranya ia terlepas dari samsara.
0 Komentar